Religion

Bagus tuk dibaca nih buat para orang tua zaman now ๐Ÿ‘

"ORANG TUA SEKARANG MEMBUNUH ANAKNYA SECARA HALUS"

Ada seorang operations manager dari client kantor saya – yang cool banget. Kita undang dia makan siang dan nasinya keras. Kita sebagai vendor yang baik, meminta maaf. Dia bilang,
“Gak papa. Justru saya suka nasi keras. Gak suka tuh saya, beras sushi.”
“Kok sukanya nasi yang keras Pak?” I cannot help but to ask.
“Iya, orang tua saya ngajarin jangan pernah buang makanan. Nasi kemarin juga kita makan.”

This may be simple. But this, blew my mind.

Dan setelah saya menjadi orang tua, di sini lah saya lihat banyak orang tua mulai mengambil langkah yang tidak disadari, berdampak.

“Saya waktu kecil, miskin. Saya pastikan anak-anak saya mendapatkan yang terbaik, termahal.”

“Waktu kecil, saya makan aja susah. Saya pastikan mereka itu sekarang makan enak.”

“Waktu kecil, saya belajar ditemani lilin dan 2 buku. Sekarang anak saya, saya sekolahkan ke Inggris.”

We experienced the worst and therefore we tend to give the best.

The question is, is the best…is what our children need? Really?

Orang sukses itu menjadi sukses karena :
(1) dididik dengan benar, terlepas dari dari apakah dia kaya atau miskin
(2) dididik oleh kesulitan yang dia hadapi.

Kita akui ada anak orang kaya yang tetap jempolan attitudenya dan perjuangannya. Tapi kita lihat kebanyakan orang sukses juga dulunya sulit. Kesulitan (dalam beberapa kasus, kemiskinan) itu yang menjadi drive orang-orang untuk menjadi sukses. Ini adalah resep yang nyata. Kesulitan yang orang-orang sukses ini hadapi adalah ladang ujian di mana mereka menempa diri mereka menjadi orang sukses.

Pertanyaannya, jika kita ingin mencetak anak-anak yang bermental baja, kenapa kita justru memberikan semua kemudahan? Kenapa justru kita hilangkan semua kesulitan itu?

Karena dengan menghilangkan kesulitan-kesulitan itu, justru kita menciptakan generasi yang syarat hidupnya banyak.

*Generasi Berikutnya*

*_Apa yang terjadi dengan dari hasil thinking frame ‘dulu saya susah, saya tidak ingin anak saya susah’? Ini yang terjadi:_*

Anak dari teman ibu saya terbiasa makan beras impor thailand. Di 98, kita terkena krisis dan orang tuanya tdiak lagi mampu beli beras impor. Yang terjadi adalah, anaknya gak bisa makan.

Ada anak dari teman yang terbiasa makan es krim haagen dasz, ketika pertama kali makan es krim lokal, dia muntah.

Ada cucu yang ngamuk di rumah neneknya karena di rumah nenek, gak ada air panas.

Saya tidak mencibir mereka. Apa adanya seorang manusia itu terjadi dari nature dan nurture. Semua ini, adalah nurture.

Bahkan di kantor pun sama. Di kantor kebetulan saya jadi mentor seseorang (saat ini). Dalam sebuah kesempatan, dia pernah berkata “Duh, gak nyaman di posisi ini.”

Di lain kesempatan, “Sayang ya, si X resign, padahal dia membuat saya nyaman di kantor sini.”

Pada kali kedua saya mendengar mentee saya ngomong ini, saya mulai masuk “Kamu sadar gak, kamu udah 2 kali menggarisbawahi bahwa kenyamanan dalam kerja itu, penting bagi kamu.”

“…”

“Emang sih idealnya nyaman. Tapi sayangnya, this is life. We don’t get to pick ideal situations. Sometimes we need to settle with what we have and deal with it.

*_"Tentang kenyamanan, coba jadikan itu sebagai sesuatu yang ‘nice to have’ dan bukan ‘must have’_"*

*What to Do?*

Saya menyukai cara Sultan Jogja mendidik anak-anaknya. Saya pernah dengar bahwa di saat balita, anak sultan dikirim untuk hiidup di desa. Makan susah, main tanah, mandi di sumur. Intinya, meski dia anak sultan, dia tidak tahu bahwa dia anak sultan dan dia merasakan standar hidup yang rendah – dan merasa cukup dengan itu. Setelah agak besar, dia kembali ke istana. Dampaknya, semua Sultan, bersikap merakyat. Dia makan steak, tapi dia tahu bahwa steak yang dia makan adalah sebuah kemewahan. Bukan sebuah syarat hidup minimum.

Saya pun memiliki syarat-syarat hidup. Semenjak menjadi seorang bapak, saya berubah total dan saya kikis hilang itu semua. Karena saya tidak ingin anak-anak saya memiliki syarat hidup yang banyak. Dan satu-satunya cara memastikan itu terjadi adalah bahwa sayapun tidak boleh memiliki syarat hidup banyak.

Saya mengajak mereka naikkopaja atau transjakarta setiap hari ke sekolah, sebelum mereka merasakan bahwa naik angkutan umum itu, rendah.

Saya membiarkan mereka tidur di lantai. Siapa tahu suatu saat nanti mereka harus terus-terusan.

Saya mematikan AC saat mereka tidur – siapa tahu mereka suatu saat cannot afford air conditioning.

Saya tidak menginstall air panas karena saya ingin anak-anak saya baik-baik saja jika suatu saat nanti mereka tiap hari harus mandi air dingin.

Saya melarang mereka main tablet karena saya ingin mereka tidak tergantung dengan kemewahan itu.

Saya melarang mereka menilai teman dari merk mobil mereka karena merk mobil itu gak pernah penting, dan gak akan penting.

Kita pergi ke mall memakai kopaja. And we have fun ketawa-ketawa, seperti jutaan orang lain.

Saya tidak membuang nasi kemarin yang memang masih bagus. Instead saya makan sama anak-anak saya. Siapa tahu suatu saat, that is all they can afford. Agak keras. And we like it.

We teach them to pursue happiness so that they learn the value and purposes of things. Not the price of things.

Nasi kemarin yang masih perfectly safe to eat, masih punya value. Kopaja dan mercy memiliki purpose yang sama, yaitu mengantar kita ke sebuah tempat.

AC atau gak AC memberikan value yang sama. A good night sleep.

Kenapa semua ini penting? Kita harus ingat bahwa generasi bapak kita adalah generasi yang bersaing dengan 3 milyar orang. Mereka bisa mengumpulkan kekayaan dan membeli kemudahan untuk generasi kita. Kita harus bersaing dengan 7 milyar orang. Anak kita nanti mungkin harus bersaing dengan 12 milyar orang di generasi mereka.

One needs to be a tough person to be able to compete with 12 billion people. Dan percaya lah, memiliki syarat hidup yang banyak, tidak akan membantu anak-anak kita bersaing dengan 12 milyar orang itu.

Selamat beraktivitas...
Have a nice daday๐Ÿ™๐Ÿ˜‡

๐ŸŽ€

_Kalau rezki itu diukur dari kerja keras... maka kuli bangunan lah yang akan cepat kaya_

_Jika rezki itu ditentukan dari waktu kerja maka warung kopi 24 jam lah yang akan lebih mendapatkanya..._
_bahkan mungkin mampu mengalahkah KFC dan Mc. DONALD_

_Jika rezki itu milik orang pintar... maka dosen yang bergelar panjang yang akan lebih kaya..._

_Jika rezki itu karena jabatan maka presiden dan rajalah orang yang akan menduduki 100 orang terkaya di dunia..._

_Rezki itu karena kasih sayang Allah._

_" Mengejar rezki... jangan mengejar jumlahnya... tetapi berkahnya "_
_( Ali bin Abi Thalib )_

*MESKIPUN LARI, REZKIMU AKAN TETAP MENGEJARMU*

“Kalaulah anak Adam lari dari rezekinya (untuk menjalankan perintah Allah) sebagaimana ia lari dari kematian, niscaya rezekinya akan mengejarnya sebagaimana kematian itu akan mengejarnya.” (HR Ibnu Hibban No. 1084)

Miskin kaya sudah ada yang mengaturnya.

ABDURRAHMAN BIN AUF SELALU GAGAL JADI ORANG MISKIN

Jika tiba-tiba kondisi ekonomi "down", saya selalu terhibur mengingat kisah bisnis Abdurrahman bin Auf radhiyallahu anhu, tentang investasinya membeli kurma busuk.

Suatu ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu anhu akan masuk surga terakhir karena terlalu kaya.
Ini karena orang yang paling kaya akan dihisab paling lama.

Maka mendengar ini, Abdul Rahman bin Auf radhiyallahu anhu pun berfikir keras, bagaimana agar bisa kembali menjadi miskin supaya dapat masuk surga lebih awal.

Setelah Perang Tabuk, kurma di Madinah yang ditinggalkan sahabat menjadi busuk. Lalu harganya jatuh.

Abdurrahman bin Auf radhiyallahu anhu pun menjual semua hartanya, kemudian memborong semua kurma busuk milik sahabat tadi dengan harga kurma bagus.

Semuanya bersyukur... Alhamdulillah... kurma yang dikhawatirkan tidak laku, tiba-tiba laku keras! Diborong semuanya oleh Abdurrahman bin Auf radhiyallahu anhu. Sahabat gembira.
Abdurrahman bin Auf radhiallahu anhu pun juga gembira.

Sahabat lain gembira sebab semua dagangannya laku.
Abdurrahman bin Auf radhiyallahu anhu gembira juga sebab... berharap
jatuh miskin!

Masya Allah... hebat

 _Coba kalau kita? Usaha diuji dikit, udah teriak tak tentu arah._

Abdurrahman bin Auf radhiyallahu anhu merasa sangat lega, sebab tahu akan bakal masuk surga dulu, sebab sudah miskin.

Namun... Maasyaa Allah
Rencana Allah Subhanahu Wa Ta'ala itu memang terbaik...

Tiba-tiba, datang utusan dari Yaman membawa berita, Raja Yaman mencari kurma busuk.

Rupa-rupanya, di Yaman sedang berjangkit wabah penyakit menular, dan obat yang cocok adalah KURMA BUSUK !

Utusan Raja Yaman berniat memborong semua kurma Abdurrahman bin Auf radhiallahu anhu dengan harga 10 kali lipat dari harga kurma biasa.

Allahu Akbar...
Orang lain berusaha keras jadi kaya. Sebaliknya, Abdurrahman bin Auf berusaha keras jadi miskin tapi selalu gagal. Benarlah firman Allah:

_"Wahai manusia, di langit ada rezki bagi kalian. Juga semua karunia yang dijanjikan pada kalian " (Qs. Adz Dzariat, 22 )_

Jadi... yang banyak memberi rezeki itu datangnya dari kurma yang bagus atau kurma yang busuk?

Allah Subhanahu Wa Ta'ala lah yang memberi rezki...

Semoga kisah ini dapat *menyuntik kembali semangat* dalam diri kita semua,  yang sedang diuji dalam pekerjaan dan usaha kita, UNTUK LEBIH MENGUTAMAKAN URUSAN kepada Allah dibanding urusan dunia yang sementara ini, Aamiin.

Kisah diatas sesuai dengan hadist
Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu anhu, ia mendengar Rasululluh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‎ู…َู†ْ ูƒَุงู†َุชِ ุงู„ุฏُّู†ْูŠَุง ู‡َู…َّู‡ُ ، ูَุฑَّู‚َ ุงู„ู„ู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ุฃَู…ْุฑَู‡ُ ، ูˆَุฌَุนَู„َ ูَู‚ْุฑَู‡ُ ุจَูŠْู†َ ุนَูŠْู†َูŠْู‡ِ ِ، ูˆَู„َู…ْ ูŠَุฃْุชِู‡ِ ู…ِู†َ ุงู„ุฏُّู†ْูŠَุง ุฅِู„َّุง ู…َุง ูƒُุชِุจَ ู„َู‡ُ ، ูˆَู…َู†ْ ูƒَุงู†َุชِ ุงู„ْุขุฎِุฑَุฉُ ู†ِูŠَّู€ุชَู‡ُ ، ุฌَู…َุนَ ุงู„ู„ู‡ُ ุฃَู…ْุฑَู‡ُ ، ูˆَุฌَุนَู„َ ุบِู†َุงู‡ُ ูِูŠْ ู‚َู„ْุจِู‡ِ ، ูˆَุฃَุชَุชْู‡ُ ุงู„ุฏُّู†ْูŠَุง ูˆَู‡ِูŠَ ุฑَุงุบِู…َุฉٌ.

Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali menurut ketentuan yang telah ditetapkan baginya.

Barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allah akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina. ”

Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/ 183); Ibnu Majah (no. 4105); Imam Ibnu Hibban (no. 72–Mawariduzh Zham’an); al-Baihaqi (VII/288) dari Sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu anhu.

Lafazh hadits ini milik Ibnu Majah rahimahullah.

๐ŸŽ€

“Sesungguhnya Allah membeli dari orang –orang mukmin, baik diri mereka maupun harta mereka, dengan memberikan surga untuk mereka.” (At-Taubah: 111)

Berulangkali kita pasti sering membaca ayat ini. Jika direnungkan dalam-dalam setiap kata atau susunan kalimat dalam ayat di atas, memang tak salah jika ayat ini disebut oleh Sayyid Qutub dalam Tafsirnya Fii Zhilaalil Quran, sebagai ayat yang sesungguhnya sangat dahsyat dan menakutkan. Ada hubungan keterikatan yang sangat kuat antara orang-orang beriman dengan Allah, hakikat sebuah sumpah atau janji yang telah terucap dengan keislaman sepanjang hidup kita.
Dalam konteks peran kita sebagai orangtua, apapun itu, setiap kita sudah mutlak menjadi milik-Nya. Sebenarnya tak ada hak apapun pula atas suami /istri, juga atas anak-anak kita, bahkan atas diri kita sendiri. Maka sejatinya, semua yang ada membersamai kita termasuk anak-anak, semua adalah milik Allah. Dan membersamainya berati pula menjaga titipan-Nya dengan sebaik-baiknya seperti yang Sang Penitip inginkan. Selayaknya yang diberi amanah juga selayaknya sebagai orang yang terbeli, maka tidak ada pilihan selain pengabdian utuh mengikuti apa yang telah disyaratkan Sang Pembeli.
Menjaga dan membentuk anak-anak sesuai dengan apa yang Allah inginkan, menjadi tugas utama setelah kemudian Allah bentuk kita menjadi orangtua. Bahkan menyerahkan anak-anak kelak untuk kemaslahatan dakwah dan Dien ini adalah bentuk totalitas sebagai wujud pelaksanaan sumpah atau janji kepada-Nya.
Mari kita tengok kembali kisah seorang Shahabiyah mulia, Khansa. Ibunda empat syuhada Qadisiyah. Wujud totalitas kecintaannya dan penunaikan janji kepada Pembeli dirinya, dikisahkan dalam penggalan berikut;
Dalam sebuah kemah dari ribuan kemah dalam perang Qadisiyah, Khansa mengumpulkan keempat anaknya untuk menyampaikan nasihat (wasiat) pada mereka. Ia berwasiat,” anak anakku, kalian memeluk Islam dengan penuh ketaatan dan hijrah dengan penuh kerelaan. Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang haq, kecuali Dia, sungguh kalian terlahir dari ibu yang sama. Aku tidak pernah mengkhianati ayah kalian. Tidak pernah mempermalukan paman kalian. Tidak pernah mempermalukan nenek moyang kalian. Tidak pernah pula menyamarkan nasab kalian. Kalian semua tahu balasan besar yang telah Allah siapkan bagi seorang muslim dalam memerangi orang-orang kafir. Ketahuilah anak-anakku, negeri yang kekal itu lebih baik daripada tempat yang fana ini..”
Dan usai peperangan, Khansa pun menerima kabar tentang putra putranya yang telah syahid dengan sebait jawaban,” Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan kematian mereka, Aku berharap Rabbku mengumpulkanku bersama mereka dalam kasih sayang-Nya.”
Episode yang melegenda. Catatan sejarah yang kisahnya terus membayang dalam setiap benak kita. Episode cinta yang sesungguhnya menyimpan banyak pelajaran yang tak lekang oleh masa.
Kisah seorang Khansa, adalah kisah orangtua mewariskan totalitas janji dan sumpah seperti dituliskan dalam ayat alquran surat At Taubah di atas. Cermin konteks pemahaman utuh tentang bagaimana seorang diri, sekaligus istri dan ibu bagi anak-anaknya berjuang menepati apa yang sudah menjadi janji dan menunaikan kewajiban kepada Pemilik diri yang sudah membelinya dengan bayaran yang mulia, Surga.
Tentu menyiapkan empat putra yang juga terlahir dari rahim miliknya untuk memahami dan menunaikan ayat tersebut dengan sepenuh jiwa, bukanlah sebuah proses instant yang terjadi begitu saja. Pastilah seorang Khansa sudah terlebih dulu mengokohkan keyakinan dirinya tentang makna ayat tersebut, hingga ia sanggup mengejewantahkan sempurna, pun pada kehidupan putra –putranya.
Inilah pelajaran penting yang bisa kita ambil dan teladani sebagai orangtua dari anak-anak kita. Mari kita renungkan kembali ayat tersebut sempurna. Dimana dalam ayat tersebut pun Allah sendiri bahkan telah mewajibkan Dirinya memberi kenikmatan yang tidak ternilai. Allah sudah memberi bayaran Surga, sebuah kenikmatan yang digambarkan sangat luar biasa. Padahal sejatinya, kita bahkan mungkin tidak pantas mendapatkan keistimewaan tersebut.
Hasan Al Bashri dan Qatadah pernah mengomentari ayat tersebut, “Allah telah membeli mereka tapi mereka tidak pantas dibeli dengan harga seperti itu.”
Muhammad bin Hanafiyah pun mengatakan” Sesungguhnya Allah menjadikan surga sebagai harga bagi diri kalian, maka janganlah kalian jual jiwa kalian pada pembayaran, selain surga..”
Maka, jika saat ini kita masih merasa abai untuk menyiapkan sebaik baik generasi yang sudah Allah titipkan pada kita, juga sudah terbeli oleh-Nya, tentu kita harus menelisik kembali komitmen jual beli kita dengan Allah.
Mewakafkan mereka di jalan-Nya, adalah dengan memberikan sebaik baik penjagaan akhlak, perlindungan jiwa, pendidikan sempurna dengan nutrisi Iman dan nutrisi otak yang tentunya sesuai pula dengan apa yang diperintahkan oleh-Nya. Tidak boleh ada kelalaian untuk mengenalkan mereka sejak awal dengan-Nya, juga dengan perjanjian setiap diri kepada-Nya. Prosesnya bisa jadi mungkin akan sangat panjang. Memerlukan kedekatan diri yang super kuat dengan-Nya, agar berlimpah kemudahan jalan yang akan Ia berikan. Memerlukan kekuatan ilmu pengetahuan tentangnya, agar tak salah jalan hingga malah memilih berdamai dan menggadaikan diri kepada selain-Nya.
Sungguh, mewariskan ketaatan kepada anak-anak atau generasi masa depan, adalah sebuah proses perlekatan hati dengan-Nya. Maka proses mengawalinya adalah dengan terlebih dulu memahat sempurna keyakinan dan konsistensi diri, bahwa kita selalu berusaha menjalankan kontrak jual beli bersaman-Nya dengan baik, tanpa ada tawar menawar, tanpa ada protes dan bantahan. Ya, hanya taat, tunduk mendidik generasi kita sesuai perintah-Nya, kemudian siap mewakafkannya untuk melaga bersama dakwah, mengesakan dan memurnikan kecintaan hanya kepada-Nya.
Karena kita dan anak-anak adalah jiwa yang sudah terbeli oleh-Nya dengan bayaran Surga, apakah akhirnya kita mau berkhianat dan melepas bayaran yang sesungguhnya telah memuliakan tersebut?

Comments

Popular posts from this blog

Revolusi Akhlak Dalam Keluarga

Never stop loving her children